Minggu, 03 Oktober 2010

1000 Hari Itu Telah Berlalu

Hari demi hari kami mulai menyadari bahwa kamu benar-benar sudah tidak bersama kami gus.  Dan memang telah 1000 hari yang lalu kamu meninggalkan kami dengan semua kenangan indah kita.

Tertawa, Kegilaan, Kesedihan, Air mata. semua telah kita lalui. Tapi hal itu tidak terjadi lagi hingga hari itu, Rabu, 9 Januari 2008, kami semua berkumpul dengan raut muka kesedihan mendalam dan tangisan yang tiada henti. Itu hari terakhir kami melihat kamu.

Melihat kamu terbujur kaki dengan kain kafan dan mata tertutup. Saat itu tidak ada satu pun dari kami yang rela melepasmu. Dengan berat hati kami pun harus merelakanmu, karena kami tidak ingin kekasih, saudara, dan sahabat kami sedih dan berat untuk meninggalkan kami.

Kami tidak mau kamu melihat kami bersedih gus. Maka kami pun berusaha tetap tertawa dalam tangis kami, tetap tersenyum dalam raut muka sedih kami.

Walau 1000 hari telah berlalu, dan 1000 hari lainnya didepan, itu tidak akan membuat kami melupakan kamu.
Suatu saat kita pasti berkumpul lagi gus. Tunggu kami sampai saat itu datang, dan kita bisa main bersama lagi, tertawa bersama, dan hunting foto, dunia yang sangat kau cintai.

We Always Love You
In Memoriam Bagus Setia Wardhana

09 Januari 2008
04 Oktober 2010

 

Selasa, 07 September 2010

21.21

Kulangkahkan kaki untuk menyeberang jalan.
Kok sepi?
Aku melihat kearah jam tanganku yang baru menunjukkan pk 21.21.
Tumben pikirku.
mungkin sudah banyak yang mudik.

Aku menunggu bis di depan toko yang sudah tutup.
Disitu ada bocah lelaki yang kalau dilihat dari potongan tubuhnya yang mungil sekitar umur 6-8 tahun.
Bocah tersebut sedang meletakkan kardus di depan emperan toko.
Mungkin dia mau tidur.

Tiba-tiba bacah tersebut membuka mulutnya.
Dari mulutnya aku mendengar suara.
"Mbak, mbak nunggu siapa?"
Awalnya aku tidak tahu ia bertanya pada siapa. tapi setelah kulihat sekelilingku tidak ada orang lain selain aku dan dia, aku yakin bahwa bocah itu bertanya kepadaku.

Setelah kujawab kalau aku menunggu bis yang biasa aku naiki, bocah menyahut lagi bisnya sudah ga ada mbak. "Memang mbak mau ke mana?"
Aku dengan singkat menyebut daerah tempat aku tinggal dan bocah berkata "Naik taksi saja mb."
Sambil tersenyum aku mengatakan bahwa aku akan coba menunggu bisa yang biasa aku naikin.

Saat menunggu itu sesekali aku melirik tingkah polah bocah. Dia masih asik dengan kardusnya.
Terbesit dalam benakku, apa maksudnya dia menanyakan dan menyarankan aku naik taksi saja.
Aku pikir tidak ada untungnya bagibocah itu.

Lima menit aku menunggu, bis yang aku incar terlihat.
Aku mulai melangkahkan kakiku.
Bocah itu langsung berdiri melihat aku.
Sambil tersenyum aku berkata bahwa bisnya masih ada.
Bocah lelaki itu sambil menyengir langsung berkata "O iya mbak, aku lupa"

Saat aku naik ke bis, bocah lelaki mengikuti.
A duduk, dan mulailah dia bernyanyi.
Tak jelas lagu apa yang dinyanyikan.
Yang jelas aku tangkapo malah saat dia menguap.
Ngantuk sekali pasti bocah ini pikirku.

Biasanya aku ga terlalu peduli dengan pengamen, kalaupun sedikit peduli tidak pernah aku mengeluarkan uang lebih dari seribu rupiah. Sering hanya logaman 500 rupiah.
Tapi melihat bocah ini, aku merasa berbeda.

Saat aku melihat dia bergerak meminta sedekah dari depan, aku melihat belum ada yang memberi.
Aku langsung memberinya 2000 rupiah.
Hal yang berbeda dari yang biasa aku lakukan.

Dan bocah itupun sambil memperlihatkan wajah yang memang sangat terlihat mengantuk mengucapkan terima kasih.
Semoga saja bocah lelaki itu hari esoknya akan lebih baik.

Senin, 06 September 2010

Kehidupan Diandaikan Sebatang Lilin

Kalau ada yang bilang apa kehidupan itu, pasti akan banyak jawaban yang beragam.
Atau ada yang bingung menjawabnya.
Kata dari kehidupan memang cukup sederhana tapi memiliki banyak arti yang berbeda pada setiap orang.

Selama beberapa lama aku menjadi orang yang bingung, stress, dsb yang saat ini pun masih bingung aku ungkapkan apa kata yang cocok untuk dituliskan.
Jika aku diberi pertanyaan apa  kehidupan itu pada saat itu, pasti aku menjadi kelompok orang yang bingung menjawab pertanyaan itu.

Tapi saat kemarin aku melihat jejeran lilin dengan seorang di depan di setiap lilinnya, terbesit dalam pikiranku bahwa kehidupan itu seperti sebuah lilin.

Kenapa?

Lilin sebelum dibakar berwarna putih termasuk sumbunya. (lain halnya dengan lilin hias yang berwarna-warni, itu tidak termasuk disini)
Seperti pula manusia saat baru lahir, putih tanpa ada noda.

Lilin mulai dibakar dengan api.
Mulai ada warna merah dan kuning pada api.
Seperti manusia yang menandakan dimulainya kehidupan.
Kehidupan yang indah.

Tiba-tiba ada sedikit angin.
Api sedikit tergoncang, tetapi tidak mati.
Manusia memiliki masalah dalam hidupnya.
Kehidupannya mulai ada goncangan kecil.
Manusia masih bertahan.

Angin mulai kencang.
Api pun tak kuat menahannya.
Akhirnya lilin mati.
Manusia memiliki masalah yang besar dan membuatnya terpuruk.
Kehidupan seakan-akan jahat baginya.

Lama sebentarnya lilin itu mati tergantung dari manusia.
Apakah dirinya telah sanggup menyelesaikan segala cobaan hidupnya?
Apakah dirinya telah sanggup berdiri kembali?
Apakah dirinya telah sanggup melangkah lagi?
Atau dirinya memilih hidup segan mati pun tak mau.

                                                        ............ hening ............

Lilin mulai menyala kembali.
Manusia mulai memikirkan kehidupannya kembali.
Berusaha melupakan yang telah lalu.
Mencoba menatap kedepan kembali dan melangkah.

Lilin akan tetap menyala dengan guncangan-guncangan kembali. bahkan sepat mati kembali dan nyala kembali, atau menyala dengan tenang.
Manusia melanjutkan perjalanan kehidupannya.
Ada yang disertai goncangan kecil lagi, ada goncangan besar lagi, atau tetap berjalan di jalan yang halus.

Lilin mati.
Bukan karena goncangan dan angin.
Mati karena habis.
Manusia tidak selamanya bertemu dengan kehidupan.
Manusia pada akhirnya akan bertemu dengan malaikatnya.
Malaikat yang menemaninya saat harus mengembalikan nyawa kepada Tuhan-nya.

Kehidupanku Bagaikan Lilin       

Jumat, 27 Agustus 2010

Alam Memberikan Ketenangan yang Luar Biasa

Kulangkahkan kakiku ke daratan pasir yang belum pernah kupijak sebelumnya itu. Kuhirup udara yang sejuk, segar, sangat berbeda dengan udara Jakarta yang entah sudah terkontaminasi zat-zat apa saja. Setelah meyakinkan hidungku mulai terbiasa dengan udara yang sehat ini, aku mulai menyebarkan pandanganku ke sekitar, dan apa yang ku dapat?

Wow, mataku sangat menyukai pemandangan ini, begitulah pikiranku berkata. Disekitarku terhampar pemandangan yang sangat menakjubkan. Pegunungan pasir dengan warna kehijauan dibelakangnya. Sungguh pemandangan yang ............. Tak tahu bagaimana aku mengucapkannya. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna.

Aku mulai melangkahkan kakiku, berharap dapat menuju puncaknya. Kakiku melangkah dengan ringan, santai. Sepertinya ia bekerja sama dengan mataku yang tak bosan-bosan menikmati pemandangan disekitar. Kalau menikmati kenapa tidak diabadikan, tiba-tiba pikiranku berkata. O iya aku hampir lupa. Sayang sekali kalau aku sudah jauh-jauh kesini tanpa mengabadikannya. Kan biosa aku simpan dan aku lihat lagi kalau bosan dengan suasana Jakarta yang membuat orang stressssss.......

Satu jam kemudian, kelelahan mulai menderaku, dan langkahku pun semakin perlahan. Tapi tak masalah, aku rasa aku memiliki cukup waktu untuk menikmati surga didepan mataku sesuka hati. Aku sejenak melepas lelahku dengan duduk dan meminum air yang kubawa. mengelap keringatku yang menetes.

Setelah puas aku melanjutkan kembali perjalananku yang masih cukup panjang. Aku bertemu dengan penduduk setempat yang melangkah turun.aku menyapa mereka, dan merekapun tersenyum. Tanpa segan aku meminta ijin untuk mengambil gambar mereka dengan latar belakang pemandangan tempat mereka diami.

Aku mengobrol sejenak, bertanya tentang daerah itu menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Nah itu pentingnya bahasa nasional, dapat menghubungkan satu orang di daerah yang satu dengan yang lain. Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Berjam-jam telah aku lewati dengan berjalan. dan akhirnya aku menyentuh puncak dari gunung tersebut. Tidak sia-sia aku7 menguras energi hingga sampai ke puncak. Jika dibawah tadi a bilang pemandangan yang menakjubkan dan selanjutnya tidak bisa berkata-kata. Sekarang aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.....
Jadi bisa kalian pikirkan semenakjubkannya pemandangan yang aku lihat ini.

Aku duduk dan memandang hamparan alam disekitar. Ketenangan pun menghinggapi diriku. Tiba-tiba aku melupakan rasa lelah yang kudapat saat aku menuju kesini, dan sejenak aku dapat melupakan semua beban yang sedang melanda hidupku.

Sekarang aku mengerti, tidak perlu harta yang banyak untuk hidup bahagia. Tidak perlu menjadi seseorang yang modis untuk mendapatkan ketenangan hidup. Saat aku berbincang dengan penduduk asli sini, aku dapat menangkap kebahagiaan dan ketenangan dalam dirinya. Padahal ia hanya seseorang yang berasal dari desa terpencil, yang mungkin nama desanya pun tidak tercantum di peta. Hidupnya, mimpinya sangatlah sederhana, bersatu dengan alam yang menakjubkan, ia dapat dengan mudah bersyukur atas hidupnya di setiap hari.

Thank you God for everything....

Selasa, 24 Agustus 2010

Liukan DIatas Panggung Itu


Cahaya remang-remang di panggung itu tidak membuat mata penontong berpaling.
Penontong bertanya-tanya apa yang dipersembahkan oleh sang seniman.

Tak berapa lama dari ujung panggung mulai terdengar musik dimainkan yang dilanjutkan dengan adanya gerakan yang nyaris tak nampak.
Gerakan perlahan yang jika dilihat dengan seksama penonton akan mulai terbiasa dengan cahaya remang-remang.
Sang seniman tiada hentinya melakukan gerakan dengan tubuhnya.
Tubuhnya bagai karet yang dengan mudahnya diliukkan.
Liukan-liukan tersebut mengartikan sesuatu dalam cerita bisu yang dipersembahkan lewat tarian.
Bukan liukan erotis.
Liukan itu memiliki pesan yang dalam.

Liukan itu begitu indahnya, hingga penonton pun terdiam.
Mata penonton nyaris tidak berkedip dari awal hingga akhir pertunjukkan.
Pada akhir pertunjukkan sang seniman perlahan-lahan menghilang ke ujung panggung dan tirai tertutup.

Saat itulah penonton sadar bahwa pertunjukkan yang membius mereka telah berakhir.
Serontak penonton berdiri dan tanpa basa-basi bertepuk tangan tanda puasnya atas pertunjukkan.

Itulah keindahan yang terangkum dalam seni....